Jogjakarta News Online -SLEMAN – Musim kemarau panjang membuat debit
air pada mata air di sekitar lereng Merapi menurun drastic bahkan mencapai 20%.
Pemkab Sleman masih berupaya
melakukan normalisasi mata air yang tertutup akibat erupsi merapi tahun 2010 silam.
Kepala bidang Penyediaan dan Pembinaan Sumber Daya Air,yakni
Dinas SDAEM Pemkab Sleman Warsono
menjelaskan , sumber mata air di lereng merapi mengalami penurunan hingga 20%.
Data itu merupakan hasil
pengecekan yang dilakukan terakhir kali pada beberapa mata air di musim kemarau
sekarang. Penurunan debit terjadi tak hanya pada mata air skala kecil , tapi
juga mata air yang tergolong besar juga ikut mengalami penurunan debit.
“Itu sebagai dampak dari
musim kemarau saat ini. Kami sebenarnya terus melakukan pengecekan secara
berkala dan terakhir memang mengalami
penurunan sekitar 20%,” ungkap Warsono.
Secara rinci lanjut dia
karena penurunan debit air terjadi pada
sumber air Umbulwadon, Umbulharjo Cangkringan yang merupakan mata air terbesar
di wilayah itu. Pada saat normal sumber ini debitnya mencapai 500 liter
perdetik , tapi turun menjadi 400 liter
perdetik saat ini.
Penurunan debit juga terjadi
pada sumber air Bebeng, Glagaharjo, Cangkringan. Pada saat normal debit air
bisa mencapai 40 liter perdetik ,saat kemarau berkurang menjadi 30 liter
perdetik.
“Kebetulan untuk yang Bebeng
ini aksesnya tertutup material erupsi. Untuk normalisasi mata airnya masih
dalam proses, sekarang masih dalam pembahasan bersama masyarakat paguyuban
Klaten dan Sleman karena di perbatasan,” imbuh warsono.
Untuk melakukan normalisasi
saat ini dilakukan dengan pencarian
titik mata air, yaitu dengan melakukan
pemecahan batu yang menutup dan merusak jaringan pipa besi yang menjadi saluran
air tersebut . Kemudian mencari titik sumber air dengan menelusuri jaringan
pipa-pipa yang ada.
Apabila sumber air sudah diketemukan pada titik
sumber air di lokasi tersebut dibangunkan semacam pengaman saluran air bersih.
Selain di kawasan Glagaharjo,
Cangkringan, kekeringan juga terjadi di Prambanan dan sekitarnya. Misal di Desa Wukirharjo, Gayamharjo, Sambirejo dan
Sumberharjo.
Warga yang belum dapat
mengakses tiga sistem saluran air, maka
dengan terpaksa membeli air dari tangki dengan harga sekitar Rp150.000 dari pihak
swasta.
“Warga ada yang membeli
terutama yang belum terakses sistem ketiga saluran tersebut,” ujar Mujimin yang juga Ketua Organisasi Pengelola
Pemakai Air (OPPA) Prambanan.
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan