Jogjakarta News Online -Kata Tedhak siten, atau yang bermakna turun ke tanah, merupakan sebuah cara memaknai satu tahapan dalam kehidupan ini. Seperti apa gambaran upacara tedhak siten  yang kini diuri-uri kembali oleh orang Jawa di Kota Jogja tersebut?

Alaric Zeround Verellino Kuncoroyekti dan Maria Josephine Gisella Marchiata Pratama, masing –masing masih berada digendongan ayahandanya  dengan didampingi ibunda tercinta.

Pada hari Sabtu (6/9/2014) pagi, mereka rapi dan unik dengan balutan kebaya dan kain khas Jogja. Lalu mereka berkumpul di pelataran Pendopo Sor Sawo, Joyonegaran, Mergangsan. Menjadi  semakin ramai dengan pengunjung dan warga sekitar pendopo, Padahal  waktu mulai hampir menunjukkan pukul 09.30 WIB.

Pembawa acara menyatakan upacara telah dimulai lalu  Gisella dibimbing orang tua, menginjak jadah yang berjumlah tujuh buah tersebut , dan  masing-masing memiliki warna berbeda. Gisella masih tenang dalam pegangan ayahandanya, ketika menginjak ketujuh jadah warna-warni itu.

Ketujuh warna yang diinjak Giselle ternyata  memiliki maknanya masing-masing. Pada  upacara tedhak siten, jadah dihadirkan sebagai lambang doa agar seorang anak memiliki sikap dan sikap, seperti apa yang dimaksud pada makna warna jadah tersebut.

Secara berurutan  berikut makna masing-masing warna jadah. Jadah berwarna putih mewakili doa agar anak menjadi orang yang selalu menyimpan niat suci dalam diri anak tersebut, jadah merah bermakna agar anak berani membela kebenaran dan keadilan.

“Tapi juga agar anak berani karena ia membela yang benar. Warna hijau melambangkan kebijaksanaan dan kesuburan dalam kehidupannya, harapannya semoga cita-cita anak kelak tercapai,” kata  Tati Sutadi, pelaku budaya yang bertindak sebagai pembawa acara tersebut.

Warna kuning, lanjut Tati  mewakili ketaqwaan dan kewaspadaan. Biru sebagai perlambang kesetiaan, ungu berarti kharisma. Jadah urutan terakhir berwarna coklat, melambangkan doa  agar anak mencintai dan setia  serta memperjuangkan nusa dan bangsa, dalam hidup bermasyarakat nanti.

Selesai  menginjak jadah, tangis si cantik Giselle pecahlah sudah . Pengunjung yang hadir dalam upacara semakin antusias merekam momen-momen tersebut lewat gadget yang mereka siapkan . Tak hanya Giselle yang melewati tahap-tahap tadi Melainkan Alaric, dia mengikuti tahap urutan upacara sama seperti yang dilalui Giselle.

Tangis Alaric  bahkan tambah keras ketika ia dibantu ayah dan bundanya menaikki tujuh anak tangga yang terbuat dari batang tebu tersebut.
“Tujuh  anak tangga tadi  mewakili jumlah hari dalam kalender, yang dilalui oleh mereka itu. Yakni  Senin hingga Minggu, sudah mengikuti perputaran zaman ini , karena pada awalnya, anak tangga seharusnya hanya lima, karena mengikuti hari dalam kalender hitungan Jawa,” tutur Tati .

Tebu yang menjadi bahan anak tangga tersebut , imbuh Tati, dimaksudkan agar seorang anak, bisa merasakan manisnya kehidupan ini. Upacara tedhak siten  sesungguhnya pelaksanaannya tak menjadi sebuah kewajiban saja. Hanya saja memang  pada awalnya, bagi orang-orang dengan status sosial tinggi mereka  merasa tidak mantap  apabila tidak melaksanakan upacara tedhak siten bagi putra-putri mereka tersebut .
Tahapan  upacara selanjutnya  yang paling ditunggu-tunggu. Giselle dan Alaric yang masih  didampingi ibunda masing-masing, mereka masuk ke dalam kurungan ayam yang berukuruan besar. Di dalam kurungan tersebut  telah ada segala bentuk mainan dan benda-benda yang bisa mereka pilih . Yang nantinya, ada harapan yang akan tersirat dari benda yang mereka pilih tersebut.

Suasana semakin ramai, ketika Giselle meraih selembar uang kertas nominal Rp100.000. Lalu  ia mengambil lagi uang kertas Rp50.000, Rp20.000, dan Rp5.000.
“Saya berharap, ya semoga Giselle menjadi anak yang bisa menata keuangan sendiri nanti. Memiliki teknik pegelolaan uang yang baik  dan tidak boros dalam kehidupannya,” ujar Yessica Devi Septani, ibunda Giselle.
Adapun Alaric, sedikit rewel di dalam kurungan tersebut. Hal tersebut  membuat Nanik Mustika Dewi, ibunda Alaric harus sedikit berupaya agar ia mau memilih salah satu atau lebih mainan  dari kumpulan benda-benda di hadapannya.

Selama beberapa menit, Alaric hanya menangis sambil menatap pengunjung  dan wartawan yang berada di luar kurungan  yang tak henti-hentinya menyorot dirinya itu. Tak lama kemudian  ia meraih stetoskop biru dan beberapa lembar uang kertas di hadapannya.
“Harapannya agar Alaric  bisa menjadi orang yang pintar mencari uang sendiri. Akan tetapi  bukan sekedar mencari uang, melainkan bisa menyejahterakan sesamanya dan keluarganya,” kata  Henry Kuncoroyekti, ayahanda Alaric.

Meski mungkin kelak Alaric tak menjadi seorang dokter dan  bisa dimungkinkan, Alaric menjadi orang yang memiliki perhatian pada kesehatan masyarakat sekitarnya.
Kurungan yang ‘mengurung’ Alaric dan Giselle saat memilih ubarampe tersebut, juga lekat dengan filosofi jawa. Bahwa dalam kehidupan nini  mereka akan selalu hidup dalam aturan yang berlaku. Tahapan-tahapan berikutnya  diikuti kedua anak dengan berurutan hingga selesai.

Salah satunya adalah  Sebar udhik-udhik adalah mengajarkan kepada sang anak agar mau berbagi rejeki yang dimilikinya dan membantu sesama yang kesulitan. Juga  siraman dengan banyu gege yang dicampur kembang setaman adalah agar sang anak bisa mengharumkan nama bangsa dan negaranya kelak.
Upacara Tedhak siten ini diikuti oleh anak berusia tujuh ‘lapan’, yang dihitung bukan berdasarkan kalender bulanan masehi, tetapi  selapanan. Hitungan lebih mudahnya  anak tersebut telah berusia minimal delapan bulan.

Trisminingsih, yakni Kepala Seksi Pembinaan Pelestarian Nilai-nilai Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Jogja, mengatakan  pelaksanaan upacara tedhak siten ini merupakan bentuk pelestarian dan pembinaan budaya.

“Tedhak siten masih ada di masyarakat  tapi selama ini banyak juga yang belum pernah melihat langsung upacaranya, bahkan memahami makna dan filosofinya itu,” kata  Ismi, panggilan akrab Trisminingsih  usai upacara thedak siten.

Acara yang terselenggara atas kerjasama antara Paguyuban Kesenian Kelurahan Wirogunan, Kecamatan Mergangsan . Dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Jogja ini juga mengundang guru-guru bahasa dan budaya Jawa  dengan harapan agar mereka bisa menyebarluaskan nya ke masyarakat yang lain di luar jogja .




0 komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan

 
Top